Okey, saya dapat artikel bagus mengenai trik menghadapi dunia karir di
bidang akuntansi setelah menyelesaikan study di perkuliahan. Yuuk, mari kita
baca dengan seksama... (www.jurnalakuntansikeuangan.com)
Bagi anak akuntansi, melewati tahun
pertama dalam karir adalah tantangan sesungguhnya setelah masa perkuliahan
berlalu. Lewat tulisan ini akan share 6 jurus melewati tahun pertama berkarir
di bidang akuntansi (mirip cerita silat ya?)
Betul. Mendapatkan pekerjaan saat ini sulit.
Untungnya, anak akuntansi rata-rata tergolong mudah dalam urusan mendapat
pekerjaan. Sehingga tantangan terberat mereka yang baru lulus, menurut saya,
bukan dalam hal mencari dan mendapatkan pekerjaan, melainkan mampu bertahan
untuk tetap bekerja, setidaknya di tahun pertama.
Persiapan Mental Sebelum Memasuki Dunia Karir
Diterima bekerja—entah di suatu perusahaan atau
di KAP—untuk pertamakalinya, sungguh menggembirakan. Saat yang ditunggu-tunggu,
sejak masih di bangku kuliah.
Itu pula yang saya rasakan ketika diterima
bekerja, di sebuah Kantor Akuntan Publik (KAP) kecil, untuk pertamakalinya,
belasan tahun yang lalu. Kelegaan saat lulus kuliah disusul oleh kegembiraan
diterima bekerja.
Bulan pertama bekerja, mungkin ini mewakili
pengalaman kebanyakan orang, rasanya berbagai macam perasaan
bercampuraduk—senang, semangat, deg-degan—singkat kata: “exciting”, apalagi
membayangkan kesenangan-kesenangan yang tadinya hanya sebatas angan, kini sudah
di depan mata:
·
Sudah tidak berstatus “mahasiswa” lagi, kini aku
seseorang “pegawai”—aku akan punya “penghasilan sendiri” yang bisa
aku gunakan untuk apa saja yang aku mau.
·
Sudah tidak “setengah dewasa” lagi yang apa-apa masih
harus diatur oleh orang-tua, kini aku “orang
dewasa sepenuhnya”, aku akan “bebas
mengambil keputusan” yang menurutku terbaik.
·
Kini aku memasuki “lingkungan profesional,” bergaul
dengan orang-orang profesional.
·
Secara keseluruhan, “tidak lama lagi, impian masa depanaku
akan segera terwujud”.
·
Setidaknya, itulah yang saya rasakan
begitu mendapat pekerjaan.
Seberapa
lama kegembiraan itu bertahan? Seperti jenis
kegembiraan lainnya: tidak lama. Hari berganti menjadi minggu, minggu berganti
menjadi bulan, excitement itu kian berkurang. Sebagian dari kesenangan yang
diimpikan itu betul-betul terwujud, sebagian besarnya lagi belum—malahan mungkin
masih sangat jauh. Misalnya:
·
Benarkah punya penghasilan sendiri?
BENAR (tapi belum cukup untuk bersenang-senang)
· Benarkah tidak perlu diatur-atur
lagi? BENAR tidak diatur oleh orang tua, tetapi DIATUR oleh perusahaan dimana
bekerja—bahkan ada konsekwensinya.
· Benarkah bebas mengambil keputusan?
BENAR untuk urusan pribadi, tetapi TIDAK BENAR untuk urusan pekerjaan.
Yang saya sebutkan tentu hanya yang bersifat umum. Pada kenyataannya,
begitu banyak hal spesifik yang kontras antara apa yang dibayangkan sebelum
bekerja dengan setelah bekerja, kekagetan-kekagetan yang bisa berubah menjadi
sumber stress bagi mereka yang belum siap.
Al hasil? Meskipun
sebagian besar orang bisa menerima lalu beradaptasi dengan kenyataan itu,
banyak juga yang tak bisa lalu berhenti untuk sementara, sambil mencoba mencari
tempat kerja yang lebih sesuai harapan.
Saran saya
(untuk yang sebentar lagi akan memasuki dunia kerja atau baru saja
memasukinya), tanamkan pemikirian sejak di awal bahwa:
· Lulus kuliah adalah akhir masa-masa
belajar di kampus, sekaligus awal dari masa-masa belajar di tempat kerja dimana
proses akuntansi yang sesungguhnya dijalankan.
· Sementara ada sebagian kawan yang
memilih melanjutkan belajar ke kampus S2, anda memilih melanjutkan proses
pembelajaran di kampus pekerjaan alias bekerja. Jika kawan yang masuk S2
memperdalam pengetahuan dengan observasi/penelitian, anda memperdalam
pengetahuan dengan menjalankan pekerjaan yang sesungguhnya.
· Siap memasuki dunia kerja artinya
siap menghadapi tantangan baru yang sudah pasti lebih berat jika dibandingkan
dengan tantangan di masa kuliah/sekolah (tidak ada cerita lebih mudah).
· Perubahan status dari
“pelajar/mahasiswa” ke “profesional” diikuti oleh sederet perubahan
tanggungjawab—sebagai seseorang yang menyandang status profesional—yang sudah
tentu butuh waktu panjang untuk menjadi terbiasa.
· Hasil pekerjaan berupa uang, adalah
efek (atau konsekwensi) dari kemampuan diri dalam menjalankan pekerjaan.
Sehingga, menurut saya, sebaiknya ditempatkan di urutan paling akhir dalam
pertimbangan sebelum memasuki dunia kerja.
Dengan bekal persiapan mental di atas ditambah
lagi 6 tips yang akan saya share sebentar lagi, mudah-mudahan anda bisa
melewati tahun pertama bekerja, di bidang akuntansi, tanpa hambatan. Kita mulai
dengan tips pertama…
Jurus#1. Belajar Mengaplikasikan Teori ke Dalam Teknis Pekerjaan
Akuntansi
Masalah utama seorang junior accountant dan
pegawai accounting baru pada umumnya adalah: lemahnya penguasaan teknis
dasar akuntansi.
Seorang lulusan S1 akuntansi tentu sudah sangat
menguasai konsep dan teori—mulai dari akuntansi keuangan, manajemen,
biaya, audit dan SPI, pajak, hingga sistim informasi akuntansi—tetapi masih
sebatas teori, belum jaminan langsung bisa bekerja tanpa membuat kesalahan.
Untuk mengatasi hal ini, hal yang paling penting dilakukan di tahun
pertama karir adalah belajar mengaplikasikan teori, konsep, prinsip, premise,
postulate, formula, dan standar akuntansi yang diperoleh di bangku kuliah ke
dalam teknis pekerjaan akuntansi.
Caranya: Learn as you go. Belajar dengan melakukannya. Perusahaan atau KAP biasanya menyediakan
3 bulan masa percobaan (probation period)
bagi staf baru/junior accountant. Manfaatkan masa itu sebaik-baiknya untuk
menguasai teknis pekerjaan dasar yang ditugaskan kepada anda. Perhatikan
bagaimana senior menjalankan pekerjaanya, lalu lakukan sendiri.
Jurus#2. Jangan Takut Bertanya, Tapi Kuasai Dahulu Dasarnya
Ada 3 kesalahan paling umum dilakukan oleh mereka yang baru memasuki
dunia kerja sehubungan dengan urusan tanya-bertanya, yang bisa kita ambil
pelajarannya (tanpa perlu mengalaminya sendiri):
(1) Tidak Bertanya – Masa training dan percobaan selama 3 bulan, samasekali belum
waktu yang cukup untuk menguasai segala macam teknis pekerjaan hingga ke
detail-detailnya, disamping kasus-kasus pekerjaan juga terus berkembang setiap
harinya. Artinya staf baru, dalam tahun pertama, biasanya masih banyak
melakukan kesalahan. Kabar bagusnya, perusahaan masih bisa menerima
kesalahan—sepanjang tidak fatal dan tidak terlalu sering.Kuncinya: tanyakan jika tidak tahu—jangan diam. Kepada siapa bertanya? Kepada rekan kerja yang
lebih berpengalaman, tapi lebih baik pada atasan. Apakah bertanya bikin kita nampak bodoh? Apakah tidak bertanya
bikin kita nampak pintar? Jawaban
keduanya: bisa iya bisa tidak. Saya pribadi, memilih untuk ‘kelihatan-bodoh-tapi-tidak-menimbulkan-masalah’
DIBANDINGKAN ‘nampak-pintar-tetapi-menimbulkan-masalah-besar-yang-tidak-bisa-diperbaiki’.
Dicukein Saat PKL? Tidak Akan Terjadi Saat Bekerja
Saat magang (PKL),
mungkin pegawai dimana magang cenderung mengabaikan pertanyaan anda, semacam “tidak dianggap”. Saya ingin
luruskan pandangan ini. Sebenarnya bukan “tidak dianggap”, melainkan karena
mereka dikejar-kejar oleh deadline—pekerjaan yang mempengaruhi kinerja
perusahaan, sementara mereka tidak melihat benefit nyata dari menjawab
pertanyaan anda yang sedang magang, karena tidak ada pengaruh signifikan ke
perusahaan.
Setelah anda
sungguh-sungguh bekerja (bukan magang), itu TIDAK akan terjadi lagi. Ketika
anda menanyakan sesuatu (mengenai pekerjaan) kepada atasan, biasanya atasan
akan memperhatikan dengan serius. Mengapa? Karena atasan tidak mau anda bikin
masalah hanya karena anda tidak tahu. Rata-rata
atasan berprinsip: “Lebih
baik SEDIKIT direcoki (dengan pertanyaan) ketimbang nanti terjadi MASALAH”.
(2) Mengulang Pertanyaan Yang Sama – Di wilayah profesional (tempat kerja), ruang untuk “tidak tahu”
itu masih ada, walupun tidak banyak, tetapi samasekali tidak ada ruang untuk “ignorance”. Tidak tahu dan
ignorant adalah dua hal yang berbeda. Ketidaktahuan yang sengaja dipelihara
namanya “ignorance” alias “ketidakpedulian”
atau “ketidakmautahuan”. Menanyakan kasus yang sudah pernah ditanyakan
sebelumnya (atau serupa), oleh atasan dianggap sikap ignorance. Atasan
menganggap penanya tidak memperhatikan saat dia menjelaskan = tidak mau belajar
= tidak peduli = ignorance. Oleh sebab itu, ketika
atasan menjelaskan sesuatu (terlebih-lebih untuk pertanyaan anda), perhatikan
baik-baik, catat—tidak perlu serapih catatan kuliah, yang penting bisa
dijadikan bahan pengingat. Kesalahan paling fatal, di sini, adalah terlalu
yakin bisa mengingat semua hal. Faktanya, akan muncul begitu banyak persoalan
silih-berganti setiap harinya, yang membuat anda lupa akan banyak hal. Cara
terbaik untuk mencegah hal ini: CATAT.
(3)
Bertanya Tanpa Menguasai Basic/Tanpa Persiapan – Bertanya
tentang sesuatu tanpa menguasai basic-nya atau tanpa persiapan, sama saja
menyuruh atasan untuk mengerjakan tugas anda sendiri, itu namanya tidak sekedar
merepotkan tapi ignorant. Oleh sebab itu, sebelum bertanya, kuasai dahulu
basicnya, persiapkan segala sesuatu yang kira-kira diperlukan (misal: bukti
transaksi, printout rekening koran, slip transfer, PO, dlsb)—sesuai dengan
kasus yang anda tanyakan. Ini namanya penanya yang baik. Jangan sampai atasan
bilang “Hello… anda digaji di sini.”
Manager Handal Selalu Punya Waktu Untuk Bawahan
Adakalanya atasan
tidak menjawab pertanyaan bawahan. Kemungkinan penyebabnya bisa macam-macam,
yang paling lumrah adalah: atasan sibuk dengan tugas-tugasnya sendiri. Dan ini
bukan kondisi seorang atasan yang ideal.
Yang namanya “manager” (=pengelola), tugas
utamanya mengelola pekerjaan—dengan cara mengelola sumberdaya uang, manusia
(staff) dan perlatan yang dipercayakan padanya.
Seorang manager
yang handal, idealnya, hanya menghabiskan (maksimal) 30% waktunya untuk
membereskan ‘urusan’nya sendiri, sedangkan sisanya yang 70% mestinya untuk
‘melayani’ bawahan—tentunya termasuk menjawab pertanyaan bawahan sekaligus
memberi arahan bagimana mengerjakan ini dan itu.
Kondisi
manager yang ideal (siapa tahu anda kelak jadi manager) bisa dihadirkan, jika
managernya:
·
lebih skillful (dalam konsep dan
teknikal)
·
lebih berpengalaman (dalam konsep dan
teknikal)
·
lebih menguasai system
·
lebih dewasa dalam berpikir dan
bersikap
·
lebih bersedia bekerja keras
·
Lebih loyal terhadap persuhaan
·
lebih cerdas
·
lebih profesional
Sayangnya, kondisi
ideal seperti itu tidak selalu bisa dihadirkan sepanjang waktu; performance
manager-pun ada kalanya berfluktuasi (kadang cerdas-kadang tidak, kadang
handal-kadang tidak).
Nah, apakah junior accountant perlu menunggu
kondisi atasan (supervisor, chief accountant, Manager) yang ideal, untuk
bertanya? Jangan.
Pilih pro-aktif, jemput bola. Jika atasan nampak sibuk, kirim email—sehingga
dia bisa mencari waktu yang paling pas untuk menjawab pertanyaan anda.
Sementara menunggu jawaban, jangan duduk manis; kerjakan apa yang bisa
dikerjakan terlebih dahulu.
Jurus#3. Masalah Jangan Disimpan Sendiri
Setiap orang pernah bikin masalah, sengaja atau
tak disengaja, termasuk saya tentunya (entah 33 atau 133, sudah lupa
persisnya). Apalagi di tahun pertama bekerja, sudah pasti banyak
bikin masalah.
Seperti sudah disampaikan di jurus#2;
bertanya—untuk sesuatu yang tidak diketahui atau tidak dimengerti—bisa
mengurangi potensi masalah. Tetapi tidak menghilangkannya samasekali. Bahkan
sudah dihindaripun, yang namanya masalah tetap saja bisa terjadi. Dan kemunculan
masalah tidak pilih-pilih; baik yang baru atau berpengalaman, sama-sama bisa
menimbulkan masalah. Sudah menjadi semacam keniscayaan.
Ragam masalahpun bisa bermacam-macam, mulai dari
yang paling spele (computer ngadat misalnya), sampai sampai yang serius (salah
bayar supplier atau salah kirim laporan ke klien, misalnya.)
Jika
masalah terlanjur terjadi, apa yang harus dilakukan?
·
Responsive
but not over-reactive – Penting untuk dicamkan
baik-baik: jangan pernah menyepelekan masalah. Respon setiap masalah yang
timbul, meskipun nampak spele. Sadari bahwa sebagian besar masalah, dalam
pekerjaan, bisa merembet ke wilayah lain atau membesar, jika tidak segera
direspon. Tapi jangan terlalu reaktif, tenang—jangan panik. Terlalu reaktif dan
panik, disamping membuat ruang berpikir jadi sempit, juga menimbulkan kepanikan
yang tak perlu bagi anggota team yang lain—ini tidak sehat. Caranya? Lihat yang di bawah.
·
Find the
source of the problem and scale up – Dari suatu
masalah, yang pertama kita lihat, biasanya, hanya akibat dari masalah itu
(ujung akhirnya). Dalam kebanyakan kasus, membereskan akibatnya saja tidak
membuat masalah berhenti. Untuk itu, telusuri, dan cari tahu sumber masalahnya
dengan hati-hati. Pelajari dan cari
tahu: apa masalah sebenarnya? Bagaimana cara
mengatasinya? Mampukah anda mengatasinya sendiri? Disamping masalah yang sudah
anda temukan, mungkinkah ada masalah lain yang sudah atau akan segera timbul? Semua
aktivitas itu disebut “mensakalakan masalah”. Dengan mengetahui skala/ukuran
masalah, anda menjadi ada gambaran mengenai apa yang perlu anda lakukan
selanjutnya?
·
Notify
others – Sebagian besar dari kita cenderung untuk
menutupi aib ‘rumah’ kita sendiri. Tak ada yang salah dengan prinsip ini,
terutama jika berkaitan dengan hal yang sifatnya pribadi. Tetapi, khusus di
lingkungan kerja, sebaiknya buang jauh-jauh prinsip ini. Mengapa? Sebagian besar aktivitas perusahaan
terkait antara yang satu dengan lainnya. Terlebih-lebih jika bekerja dalam
sebuah team, sudah pasti pekerjaan yang anda lakukan terkait dengan pekerjaan
yang dilakukan oleh anggota team yang lain. Misalnya:
anda di bagian Accounts Payable terkait dengan Cash Accountant,
Purchasing/Receiving, Human Resources (untuk payroll/wages payable). Masalah
yang timbul di wilayaha anda (A/P) sedikit banyaknya akan berpengaruh ke
wilayah lain, terutama yang di hilir proses. Untuk itu, setiap timbul masalah,
beritahukan ke orang terkait. Khusus atasan anda, dia berhak untuk tahu, jika tidak
anda jalankan berarti anda melalaikan kewajiban.
·
Get some
helps (if you need) – Karakter yang paling jarang
dibutuhkan, di dunia profesi, adalah: gede gengsi, tidak mau minta bantuan. Ini
berlaku di semua level (tak peduli junior atau senior). Dalam situasi
bermasalah, turunkan gengsi, kalau perlu hilangkan samasekali. Yang namanya
menimbulkan masalah sudah pasti bagian dari kelalaian bahkan mungkin kebodohan.
Tetapi akan menjadi lebih bodoh lagi (2x lipat) jika masalah ‘dikekepi’—di
simpan sendiri. Jika memang tidak mampu mengatasi sendiri, minta bantuan orang
yang lebih mampu, dengan kerendahan hati. Apapun alasannya, kerendahan hati
(bukan rendah diri) itu adalah sifat yang mulia.
Jurus#4. Pintar-pintar Mengelola Stress
Kalau sudah yang namanya bekerja, bidang apapun
dan di level manapun, sudah pasti mengalami banyak stress (yang tidak bekerja
malah lebih stress lagi). Begitu banyak sumber stress di tempat kerja, tidak
mungkin bisa saya sebutkan satu persatu.
Terlebih-lebih junior/staf baru, tingkat stress
yang dialami pastinya lebih tinggi, karena disamping menghadapi tekanan
pekerjaan—khususnya di akuntansi—yang datang silih-berganti bak gelombang air
laut yang tak pernah surut, juga harus sambil belajar—begitu banyak hal yang
baru anda kerjakan untuk pertamakalinya.
Khususnya, di musim-musim sibuk (biasanya
menjelang tutup buku atau menjelang deadlinepelaporan). Semua orang tiba-tiba
menjadi kaku, tidak mau berkompromi, tidak bicara (apalagi bercanda).
Senior/atasan yang biasanya sabar membantu anda tiba-tiba saja menjadi judes
dan temperamental. Rekan kerja yang biasanya selalu terbuka tiba-tiba saja
menjadi nampak tidak cooperative, perhitungan, susah dimintai tolong, dan tidak
mau berbagi. Tingkat stress pegawai (dari semua level) meningkat berlipat-lipat
ganda.
Belum lagi dipatok target deadline yang cenderung tidak masuk-akal,
tidak mungkin bisa dicapai—hingga tiap hari harus lembur hingga menjelang
tengah malam, akhir pekanpun masih harus ngantor. Nyaris tak ada waktu untuk
santai-santai. Mereka yang tidak tahan stress, jadinya sakit, atau putus asa
lalu menyerah.
By the way,
sejak kapan ada target/dealine yang masuk akal? Seinget-inget saya selalu tidak masuk akal. Tapi nyatanya apa? Puluhan atau ratusan pegawai lain
masih tetap bekerja bertahun-tahun, di kantor yang sama.
Artinya
apa? Tak ada hujan yang tak reda; badai pasti berlalu.
Yang namanya stress, sudah bawaan lahir semua orang, bekerja atau tidak
bekerja—sama-sama berpotensi dilanda stress.
Kuncinya: pintar-pintar mengelola stress.
Cara yang
paling efektif: saat ada
waktu, lepaskan gumpalan stress itu.
Masing-masing orang mungkin punya simpul stress
yang berbeda, sehingga butuh pelepasan stress yang berbeda: ada yang dengan
cara mendengarkan musik, ada yang dengan cara main game, nonton film,
berolahraga, wisata kuliner, jalan-jalan, shopping, atau sekedar membaca novel
kesukaan. Intinya: lakukan aktivitas yang disukai sebagai
pelepasan stress.
Jurus#5. Ingat Tujuan Anda Semula
Balajar teknis pekerjaan akuntansi, sudah.
Bertanya saat tidak mengerti/tidak tahu, sudah. Share setiap masalah yang
timbul, sudah. Refreshing untuk melepaskan stress, juga sudah. Tapi koq masih
kepengen resign, benar-benar sudah tak tahan. Ingin mencoba bekerja di tempat
lain atau bidang lain sekalian.
Ada masa-masa seperti ini. Tapi urat keuletan
dan kesabaran orang mungkin berbeda-beda. Ada yang mengalami fase ini sejak di
bulan-bulan pertama, ada yang di pertengahan, ada juga yang setelah
bertahun-tahun kerja di sana.
Kalau kondisinya sudah seperti itu, jujur saja,
saya tak tahu lagi solusinya. Yang pasti, nyaris setiap pegawai pernah
mengalami kondisi seperti ini—termasuk saya pribadi. Nyatanya mereka masih
bekerja di sana, dan saya sendiri bertahan di tempat kerja pertama hingga 5
tahun. Lumayan kan?
Artinya
apa? Mesti ada caranya. Hanya saja, sepertinya, setiap orang punya cara
sendiri-sendiri untuk mengatasi masalah ini.
Saya
mengatasi kondisi seperti itu dengan cara:
mengingat kembali tujuan saya semula.
Pertama, ingin bekerja – Sekarang sudah bekerja, so keinginan untuk berhenti bekerja
menjadi tidak masuk-akal.
Kedua, ingin belajar mengaplikasikan ilmu yang
saya peroleh di bangku kuliah – Sekarang di tempat kerja ada
ruang untuk itu, so keinginan untuk berhenti menjadi tidak masuk-akal juga.
Ketiga, ingin belajar mandiri – Sekarang (saat masih junior) masih diatur-atur oleh atasan dan
perusahaan, sehingga mungkin terasa sangat dibatasi. Sadari bahwa itu dilakukan
demi kebaikan anda sendiri (agar terbiasa bekerja teratur), kebaikan anggota
team yang lain, dan kebaikan perusahaan.
Keempat, ingin belajar profesional – Begitu memasuki dunia kerja, secara prinsipiil, sebenarnya sudah
memasuki dunia profesional. Secara factual, IYA, profesionalitas mungkin belum
terbentuk, karena memang butuh waktu, tidak bisa instant. Seiring bertambahnya
pengetahuan, skill dan pengalaman, rasa percaya diri akan mengikuti.
Pengetahuan + skill + pengalaman + rasa percaya diri yang sudah stabil akan
melahirkan profesionalitas yang factual. Untuk semua itu butuh waktu, tidak ada
shortcut, mau-tidak-mau harus dijalani. Berhenti di tengah jalan hanya akan
menunda pertumbuhan.
Kelima, ingin membangun masa depan – Profesionalitas tinggi yang bertumbuh secara alami (yang
merupakan kombinasi pengetahuan + skill + pengalaman + rasa percaya diri yang
stabil, bukan karbitan) ditambah kemandirian, kedewasaan dan kematangan, adalah
ticket masa depan yang real.
Itulah tujuan awal orang, pada umumnya, mengapa
memasuki dunia kerja (atau dunia usaha). Mengingat kembali tujuan awal itu
dapat menebalkan keinginan anda untuk terus berkarir. Seberat apapun beban
kerja dan stress akan mampu anda tanggung.
Jurus#6 (Pamungkas). Tetap Bernafas dan Tersenyum
Seringkali, setidaknya menurut pengalaman saya pribadi,
masalah yang nampak begitu rumit (seolah tidak ada pemecahannya) ternyata
jawabannya begitu sederhana, yaitu: BERNAFAS.
Ketika saya kehabisan akal, semua jalan rasanya
buntu, maju kena mundur kena, ini salah itu juga salah, artinya saya sudah
tidak punya pilihan. Satu-satunya hal yang bisa saya lakukan, hanya: BERUSAHA
TETAP BERNAFAS, sambil mencoba tetap berpikir positive, dengan cara TERSENYUM.
Iya. Bukan hanya nampak sederhana, mungkin malah
cenderung terdengar konyol. Saya tidak ingin berdakwah di JAK, karena sampai
saat ini profesi saya masih akuntan—belum jadi pendakwah. Tapi saya ingin share
beberapa hal, mengenai manfaat bernafas dan tersenyum.
Bagi saya, yang kebetulan bersosok manusia,
bernafas adalah kebutuhan pokok—selama saya masih ingin hidup. Saat di ambang
keputusasaan, saya berpikir: tak ada aktivitas lain yang lebih esensial selain
BERNAFAS. Selama saya masih bisa bernafas, selama itu juga saya akan baik-baik
saja. Sedangkan aktivitas-aktivitas lain—termasuk segala macam tetek-bengek
terkait dengan karir dan pekerjaan—hanya detailnya yang dalam kondisi seperti
ini biasanya saya pasrahkan sama Sang Pencipta (Tuhan Yang Maha Esa).
Berusaha TETAP BERNAFAS dan SENYUM, saat di
ambang keputusasaan, adalah bentuk kepasrahaan sekaligus kepercayaan (baca
“iman”) kepada Tuhan Yang Maha Esa
·
Bernafas + tersenyum = Rasa sukur
(meskipun dalam masalah)
·
Bernafas + tersenyum = Rasa percaya
diri (aku belum kalah)
· Bernafas + tersenyum = Tidak
berprasangka buruk kepada Tuhan (percaya bahwa Tuhan tidak akan memberikan
cobaan yang tidak mampu ditanggung oleh hambanya.)
Lain daripada itu, senyum menyebarkan positivitas bagi lingkungan dimana
kita berada, sehingga bisa merangsang orang disekitar kita untuk tetap berpikir
dan perilaku positive—tanpa terganggu oleh negativitas kita. Ini bagus
dilakukan di lingkungan kerja.
Itulah 6 jurus melewati tahun pertama berkarir di
akuntansi yang salah-satunya (atau semuanya) bisa anda aplikasikan. Jika saat
ini anda sedang menjalani tahun pertama berkarir di akuntansi atau segera akan
memasuki dunia karir, saya doakan semoga lancar dan sukses. Semoga bermanfaat!! :')