Rabu, 29 Oktober 2014

Berkarir di bidang AKUNTANSI?? Siapa takuuut....

Okey, saya dapat artikel bagus mengenai trik menghadapi dunia karir di bidang akuntansi setelah menyelesaikan study di perkuliahan. Yuuk, mari kita baca dengan seksama... (www.jurnalakuntansikeuangan.com)


Bagi anak akuntansi, melewati tahun pertama dalam karir adalah tantangan sesungguhnya setelah masa perkuliahan berlalu. Lewat tulisan ini akan share 6 jurus melewati tahun pertama berkarir di bidang akuntansi (mirip cerita silat ya?)

Betul. Mendapatkan pekerjaan saat ini sulit. Untungnya, anak akuntansi rata-rata tergolong mudah dalam urusan mendapat pekerjaan. Sehingga tantangan terberat mereka yang baru lulus, menurut saya, bukan dalam hal mencari dan mendapatkan pekerjaan, melainkan mampu bertahan untuk tetap bekerja, setidaknya di tahun pertama.

Persiapan Mental Sebelum Memasuki Dunia Karir

Diterima bekerja—entah di suatu perusahaan atau di KAP—untuk pertamakalinya, sungguh menggembirakan. Saat yang ditunggu-tunggu, sejak masih di bangku kuliah.
Itu pula yang saya rasakan ketika diterima bekerja, di sebuah Kantor Akuntan Publik (KAP) kecil, untuk pertamakalinya, belasan tahun yang lalu. Kelegaan saat lulus kuliah disusul oleh kegembiraan diterima bekerja.
Bulan pertama bekerja, mungkin ini mewakili pengalaman kebanyakan orang, rasanya berbagai macam perasaan bercampuraduk—senang, semangat, deg-degan—singkat kata: “exciting”, apalagi membayangkan kesenangan-kesenangan yang tadinya hanya sebatas angan, kini sudah di depan mata:
·         Sudah tidak berstatus “mahasiswa” lagi, kini aku seseorang “pegawai”—aku akan punya “penghasilan sendiri” yang bisa aku gunakan untuk apa saja yang aku mau.
·         Sudah tidak “setengah dewasa” lagi yang apa-apa masih harus diatur oleh orang-tua, kini aku “orang dewasa sepenuhnya”, aku akan “bebas mengambil keputusan” yang menurutku terbaik.
·         Kini aku memasuki “lingkungan profesional,” bergaul dengan orang-orang profesional.
·         Secara keseluruhan, “tidak lama lagi, impian masa depanaku akan segera terwujud”.
·         Setidaknya, itulah yang saya rasakan begitu mendapat pekerjaan.
Seberapa lama kegembiraan itu bertahan? Seperti jenis kegembiraan lainnya: tidak lama. Hari berganti menjadi minggu, minggu berganti menjadi bulan, excitement itu kian berkurang. Sebagian dari kesenangan yang diimpikan itu betul-betul terwujud, sebagian besarnya lagi belum—malahan mungkin masih sangat jauh. Misalnya:
·         Benarkah punya penghasilan sendiri? BENAR (tapi belum cukup untuk bersenang-senang)
·     Benarkah tidak perlu diatur-atur lagi? BENAR tidak diatur oleh orang tua, tetapi DIATUR oleh perusahaan dimana bekerja—bahkan ada konsekwensinya.
·    Benarkah bebas mengambil keputusan? BENAR untuk urusan pribadi, tetapi TIDAK BENAR untuk urusan pekerjaan.
Yang saya sebutkan tentu hanya yang bersifat umum. Pada kenyataannya, begitu banyak hal spesifik yang kontras antara apa yang dibayangkan sebelum bekerja dengan setelah bekerja, kekagetan-kekagetan yang bisa berubah menjadi sumber stress bagi mereka yang belum siap.

Al hasil? Meskipun sebagian besar orang bisa menerima lalu beradaptasi dengan kenyataan itu, banyak juga yang tak bisa lalu berhenti untuk sementara, sambil mencoba mencari tempat kerja yang lebih sesuai harapan.

Saran saya (untuk yang sebentar lagi akan memasuki dunia kerja atau baru saja memasukinya), tanamkan pemikirian sejak di awal bahwa:
·        Lulus kuliah adalah akhir masa-masa belajar di kampus, sekaligus awal dari masa-masa belajar di tempat kerja dimana proses akuntansi yang sesungguhnya dijalankan.
·      Sementara ada sebagian kawan yang memilih melanjutkan belajar ke kampus S2, anda memilih melanjutkan proses pembelajaran di kampus pekerjaan alias bekerja. Jika kawan yang masuk S2 memperdalam pengetahuan dengan observasi/penelitian, anda memperdalam pengetahuan dengan menjalankan pekerjaan yang sesungguhnya.
·       Siap memasuki dunia kerja artinya siap menghadapi tantangan baru yang sudah pasti lebih berat jika dibandingkan dengan tantangan di masa kuliah/sekolah (tidak ada cerita lebih mudah).
·   Perubahan status dari “pelajar/mahasiswa” ke “profesional” diikuti oleh sederet perubahan tanggungjawab—sebagai seseorang yang menyandang status profesional—yang sudah tentu butuh waktu panjang untuk menjadi terbiasa.
·   Hasil pekerjaan berupa uang, adalah efek (atau konsekwensi) dari kemampuan diri dalam menjalankan pekerjaan. Sehingga, menurut saya, sebaiknya ditempatkan di urutan paling akhir dalam pertimbangan sebelum memasuki dunia kerja.


Dengan bekal persiapan mental di atas ditambah lagi 6 tips yang akan saya share sebentar lagi, mudah-mudahan anda bisa melewati tahun pertama bekerja, di bidang akuntansi, tanpa hambatan. Kita mulai dengan tips pertama…

Jurus#1. Belajar Mengaplikasikan Teori ke Dalam Teknis Pekerjaan Akuntansi
Masalah utama seorang junior accountant dan pegawai accounting baru pada umumnya adalah: lemahnya penguasaan teknis dasar akuntansi.

Seorang lulusan S1 akuntansi tentu sudah sangat menguasai konsep dan teori—mulai dari akuntansi keuangan, manajemen, biaya, audit dan SPI, pajak, hingga sistim informasi akuntansi—tetapi masih sebatas teori, belum jaminan langsung bisa bekerja tanpa membuat kesalahan.
Untuk mengatasi hal ini, hal yang paling penting dilakukan di tahun pertama karir adalah belajar mengaplikasikan teori, konsep, prinsip, premise, postulate, formula, dan standar akuntansi yang diperoleh di bangku kuliah ke dalam teknis pekerjaan akuntansi.

CaranyaLearn as you go. Belajar dengan melakukannya. Perusahaan atau KAP biasanya menyediakan 3 bulan masa percobaan (probation period) bagi staf baru/junior accountant. Manfaatkan masa itu sebaik-baiknya untuk menguasai teknis pekerjaan dasar yang ditugaskan kepada anda. Perhatikan bagaimana senior menjalankan pekerjaanya, lalu lakukan sendiri.

Jurus#2. Jangan Takut Bertanya, Tapi Kuasai Dahulu Dasarnya
Ada 3 kesalahan paling umum dilakukan oleh mereka yang baru memasuki dunia kerja sehubungan dengan urusan tanya-bertanya, yang bisa kita ambil pelajarannya (tanpa perlu mengalaminya sendiri):

(1) Tidak Bertanya – Masa training dan percobaan selama 3 bulan, samasekali belum waktu yang cukup untuk menguasai segala macam teknis pekerjaan hingga ke detail-detailnya, disamping kasus-kasus pekerjaan juga terus berkembang setiap harinya. Artinya staf baru, dalam tahun pertama, biasanya masih banyak melakukan kesalahan. Kabar bagusnya, perusahaan masih bisa menerima kesalahan—sepanjang tidak fatal dan tidak terlalu sering.Kuncinya: tanyakan jika tidak tahu—jangan diamKepada siapa bertanya? Kepada rekan kerja yang lebih berpengalaman, tapi lebih baik pada atasan. Apakah bertanya bikin kita nampak bodoh? Apakah tidak bertanya bikin kita nampak pintar? Jawaban keduanya: bisa iya bisa tidak. Saya pribadi, memilih untuk ‘kelihatan-bodoh-tapi-tidak-menimbulkan-masalah’ DIBANDINGKAN ‘nampak-pintar-tetapi-menimbulkan-masalah-besar-yang-tidak-bisa-diperbaiki’.

Dicukein Saat PKL? Tidak Akan Terjadi Saat Bekerja
Saat magang (PKL), mungkin pegawai dimana magang cenderung mengabaikan pertanyaan anda, semacam “tidak dianggap”. Saya ingin luruskan pandangan ini. Sebenarnya bukan “tidak dianggap”, melainkan karena mereka dikejar-kejar oleh deadline—pekerjaan yang mempengaruhi kinerja perusahaan, sementara mereka tidak melihat benefit nyata dari menjawab pertanyaan anda yang sedang magang, karena tidak ada pengaruh signifikan ke perusahaan.
Setelah anda sungguh-sungguh bekerja (bukan magang), itu TIDAK akan terjadi lagi. Ketika anda menanyakan sesuatu (mengenai pekerjaan) kepada atasan, biasanya atasan akan memperhatikan dengan serius. Mengapa? Karena atasan tidak mau anda bikin masalah hanya karena anda tidak tahu. Rata-rata atasan berprinsip: “Lebih baik SEDIKIT direcoki (dengan pertanyaan) ketimbang nanti terjadi MASALAH”.

(2) Mengulang Pertanyaan Yang Sama – Di wilayah profesional (tempat kerja), ruang untuk “tidak tahu” itu masih ada, walupun tidak banyak, tetapi samasekali tidak ada ruang untuk “ignorance”. Tidak tahu dan ignorant adalah dua hal yang berbeda. Ketidaktahuan yang sengaja dipelihara namanya “ignorance” alias “ketidakpedulian” atau “ketidakmautahuan”. Menanyakan kasus yang sudah pernah ditanyakan sebelumnya (atau serupa), oleh atasan dianggap sikap ignorance. Atasan menganggap penanya tidak memperhatikan saat dia menjelaskan = tidak mau belajar = tidak peduli = ignorance. Oleh sebab itu, ketika atasan menjelaskan sesuatu (terlebih-lebih untuk pertanyaan anda), perhatikan baik-baik, catat—tidak perlu serapih catatan kuliah, yang penting bisa dijadikan bahan pengingat. Kesalahan paling fatal, di sini, adalah terlalu yakin bisa mengingat semua hal. Faktanya, akan muncul begitu banyak persoalan silih-berganti setiap harinya, yang membuat anda lupa akan banyak hal. Cara terbaik untuk mencegah hal ini: CATAT.

(3) Bertanya Tanpa Menguasai Basic/Tanpa Persiapan – Bertanya tentang sesuatu tanpa menguasai basic-nya atau tanpa persiapan, sama saja menyuruh atasan untuk mengerjakan tugas anda sendiri, itu namanya tidak sekedar merepotkan tapi ignorant. Oleh sebab itu, sebelum bertanya, kuasai dahulu basicnya, persiapkan segala sesuatu yang kira-kira diperlukan (misal: bukti transaksi, printout rekening koran, slip transfer, PO, dlsb)—sesuai dengan kasus yang anda tanyakan. Ini namanya penanya yang baik. Jangan sampai atasan bilang “Hello… anda digaji di sini.”

Manager Handal Selalu Punya Waktu Untuk Bawahan
Adakalanya atasan tidak menjawab pertanyaan bawahan. Kemungkinan penyebabnya bisa macam-macam, yang paling lumrah adalah: atasan sibuk dengan tugas-tugasnya sendiri. Dan ini bukan kondisi seorang atasan yang ideal.
Yang namanya “manager” (=pengelola), tugas utamanya mengelola pekerjaan—dengan cara mengelola sumberdaya uang, manusia (staff) dan perlatan yang dipercayakan padanya.
Seorang manager yang handal, idealnya, hanya menghabiskan (maksimal) 30% waktunya untuk membereskan ‘urusan’nya sendiri, sedangkan sisanya yang 70% mestinya untuk ‘melayani’ bawahan—tentunya termasuk menjawab pertanyaan bawahan sekaligus memberi arahan bagimana mengerjakan ini dan itu.
Kondisi manager yang ideal (siapa tahu anda kelak jadi manager) bisa dihadirkan, jika managernya:
·                     lebih skillful (dalam konsep dan teknikal)
·                     lebih berpengalaman (dalam konsep dan teknikal)
·                     lebih menguasai system
·                     lebih dewasa dalam berpikir dan bersikap
·                     lebih bersedia bekerja keras
·                     Lebih loyal terhadap persuhaan
·                     lebih cerdas
·                     lebih profesional

Sayangnya, kondisi ideal seperti itu tidak selalu bisa dihadirkan sepanjang waktu; performance manager-pun ada kalanya berfluktuasi (kadang cerdas-kadang tidak, kadang handal-kadang tidak).
Nah, apakah junior accountant perlu menunggu kondisi atasan (supervisor, chief accountant, Manager) yang ideal, untuk bertanya? Jangan. Pilih pro-aktif, jemput bola. Jika atasan nampak sibuk, kirim email—sehingga dia bisa mencari waktu yang paling pas untuk menjawab pertanyaan anda. Sementara menunggu jawaban, jangan duduk manis; kerjakan apa yang bisa dikerjakan terlebih dahulu.


Jurus#3. Masalah Jangan Disimpan Sendiri
Setiap orang pernah bikin masalah, sengaja atau tak disengaja, termasuk saya tentunya (entah 33 atau 133, sudah lupa persisnya). Apalagi di tahun pertama bekerja, sudah pasti banyak bikin masalah.
Seperti sudah disampaikan di jurus#2; bertanya—untuk sesuatu yang tidak diketahui atau tidak dimengerti—bisa mengurangi potensi masalah. Tetapi tidak menghilangkannya samasekali. Bahkan sudah dihindaripun, yang namanya masalah tetap saja bisa terjadi. Dan kemunculan masalah tidak pilih-pilih; baik yang baru atau berpengalaman, sama-sama bisa menimbulkan masalah. Sudah menjadi semacam keniscayaan.
Ragam masalahpun bisa bermacam-macam, mulai dari yang paling spele (computer ngadat misalnya), sampai sampai yang serius (salah bayar supplier atau salah kirim laporan ke klien, misalnya.)
Jika masalah terlanjur terjadi, apa yang harus dilakukan?
·         Responsive but not over-reactive – Penting untuk dicamkan baik-baik: jangan pernah menyepelekan masalah. Respon setiap masalah yang timbul, meskipun nampak spele. Sadari bahwa sebagian besar masalah, dalam pekerjaan, bisa merembet ke wilayah lain atau membesar, jika tidak segera direspon. Tapi jangan terlalu reaktif, tenang—jangan panik. Terlalu reaktif dan panik, disamping membuat ruang berpikir jadi sempit, juga menimbulkan kepanikan yang tak perlu bagi anggota team yang lain—ini tidak sehat. Caranya? Lihat yang di bawah.
·         Find the source of the problem and scale up – Dari suatu masalah, yang pertama kita lihat, biasanya, hanya akibat dari masalah itu (ujung akhirnya). Dalam kebanyakan kasus, membereskan akibatnya saja tidak membuat masalah berhenti. Untuk itu, telusuri, dan cari tahu sumber masalahnya dengan hati-hati. Pelajari dan cari tahuapa masalah sebenarnya? Bagaimana cara mengatasinya? Mampukah anda mengatasinya sendiri? Disamping masalah yang sudah anda temukan, mungkinkah ada masalah lain yang sudah atau akan segera timbul? Semua aktivitas itu disebut “mensakalakan masalah”. Dengan mengetahui skala/ukuran masalah, anda menjadi ada gambaran mengenai apa yang perlu anda lakukan selanjutnya?
·         Notify others – Sebagian besar dari kita cenderung untuk menutupi aib ‘rumah’ kita sendiri. Tak ada yang salah dengan prinsip ini, terutama jika berkaitan dengan hal yang sifatnya pribadi. Tetapi, khusus di lingkungan kerja, sebaiknya buang jauh-jauh prinsip ini. Mengapa? Sebagian besar aktivitas perusahaan terkait antara yang satu dengan lainnya. Terlebih-lebih jika bekerja dalam sebuah team, sudah pasti pekerjaan yang anda lakukan terkait dengan pekerjaan yang dilakukan oleh anggota team yang lain. Misalnya: anda di bagian Accounts Payable terkait dengan Cash Accountant, Purchasing/Receiving, Human Resources (untuk payroll/wages payable). Masalah yang timbul di wilayaha anda (A/P) sedikit banyaknya akan berpengaruh ke wilayah lain, terutama yang di hilir proses. Untuk itu, setiap timbul masalah, beritahukan ke orang terkait. Khusus atasan anda, dia berhak untuk tahu, jika tidak anda jalankan berarti anda melalaikan kewajiban.
·         Get some helps (if you need) – Karakter yang paling jarang dibutuhkan, di dunia profesi, adalah: gede gengsi, tidak mau minta bantuan. Ini berlaku di semua level (tak peduli junior atau senior). Dalam situasi bermasalah, turunkan gengsi, kalau perlu hilangkan samasekali. Yang namanya menimbulkan masalah sudah pasti bagian dari kelalaian bahkan mungkin kebodohan. Tetapi akan menjadi lebih bodoh lagi (2x lipat) jika masalah ‘dikekepi’—di simpan sendiri. Jika memang tidak mampu mengatasi sendiri, minta bantuan orang yang lebih mampu, dengan kerendahan hati. Apapun alasannya, kerendahan hati (bukan rendah diri) itu adalah sifat yang mulia.


Jurus#4. Pintar-pintar Mengelola Stress
Kalau sudah yang namanya bekerja, bidang apapun dan di level manapun, sudah pasti mengalami banyak stress (yang tidak bekerja malah lebih stress lagi). Begitu banyak sumber stress di tempat kerja, tidak mungkin bisa saya sebutkan satu persatu.
Terlebih-lebih junior/staf baru, tingkat stress yang dialami pastinya lebih tinggi, karena disamping menghadapi tekanan pekerjaan—khususnya di akuntansi—yang datang silih-berganti bak gelombang air laut yang tak pernah surut, juga harus sambil belajar—begitu banyak hal yang baru anda kerjakan untuk pertamakalinya.
Khususnya, di musim-musim sibuk (biasanya menjelang tutup buku atau menjelang deadlinepelaporan). Semua orang tiba-tiba menjadi kaku, tidak mau berkompromi, tidak bicara (apalagi bercanda). Senior/atasan yang biasanya sabar membantu anda tiba-tiba saja menjadi judes dan temperamental. Rekan kerja yang biasanya selalu terbuka tiba-tiba saja menjadi nampak tidak cooperative, perhitungan, susah dimintai tolong, dan tidak mau berbagi. Tingkat stress pegawai (dari semua level) meningkat berlipat-lipat ganda.
Belum lagi dipatok target deadline yang cenderung tidak masuk-akal, tidak mungkin bisa dicapai—hingga tiap hari harus lembur hingga menjelang tengah malam, akhir pekanpun masih harus ngantor. Nyaris tak ada waktu untuk santai-santai. Mereka yang tidak tahan stress, jadinya sakit, atau putus asa lalu menyerah.

By the way, sejak kapan ada target/dealine yang masuk akal?  Seinget-inget saya selalu tidak masuk akal. Tapi nyatanya apa? Puluhan atau ratusan pegawai lain masih tetap bekerja bertahun-tahun, di kantor yang sama.
Artinya apa? Tak ada hujan yang tak reda; badai pasti berlalu.
Yang namanya stress, sudah bawaan lahir semua orang, bekerja atau tidak bekerja—sama-sama berpotensi dilanda stress.

Kuncinya: pintar-pintar mengelola stress.
Cara yang paling efektif: saat ada waktu, lepaskan gumpalan stress itu.
Masing-masing orang mungkin punya simpul stress yang berbeda, sehingga butuh pelepasan stress yang berbeda: ada yang dengan cara mendengarkan musik, ada yang dengan cara main game, nonton film, berolahraga, wisata kuliner, jalan-jalan, shopping, atau sekedar membaca novel kesukaan. Intinya: lakukan aktivitas yang disukai sebagai pelepasan stress.

Jurus#5. Ingat Tujuan Anda Semula
Balajar teknis pekerjaan akuntansi, sudah. Bertanya saat tidak mengerti/tidak tahu, sudah. Share setiap masalah yang timbul, sudah. Refreshing untuk melepaskan stress, juga sudah. Tapi koq masih kepengen resign, benar-benar sudah tak tahan. Ingin mencoba bekerja di tempat lain atau bidang lain sekalian.
Ada masa-masa seperti ini. Tapi urat keuletan dan kesabaran orang mungkin berbeda-beda. Ada yang mengalami fase ini sejak di bulan-bulan pertama, ada yang di pertengahan, ada juga yang setelah bertahun-tahun kerja di sana.
Kalau kondisinya sudah seperti itu, jujur saja, saya tak tahu lagi solusinya. Yang pasti, nyaris setiap pegawai pernah mengalami kondisi seperti ini—termasuk saya pribadi. Nyatanya mereka masih bekerja di sana, dan saya sendiri bertahan di tempat kerja pertama hingga 5 tahun. Lumayan kan?
Artinya apa? Mesti ada caranya. Hanya saja, sepertinya, setiap orang punya cara sendiri-sendiri untuk mengatasi masalah ini.
Saya mengatasi kondisi seperti itu dengan cara: mengingat kembali tujuan saya semula.
Pertama, ingin bekerja – Sekarang sudah bekerja, so keinginan untuk berhenti bekerja menjadi tidak masuk-akal.

Kedua, ingin belajar mengaplikasikan ilmu yang saya peroleh di bangku kuliah – Sekarang di tempat kerja ada ruang untuk itu, so keinginan untuk berhenti menjadi tidak masuk-akal juga.

Ketiga, ingin belajar mandiri – Sekarang (saat masih junior) masih diatur-atur oleh atasan dan perusahaan, sehingga mungkin terasa sangat dibatasi. Sadari bahwa itu dilakukan demi kebaikan anda sendiri (agar terbiasa bekerja teratur), kebaikan anggota team yang lain, dan kebaikan perusahaan.

Keempat, ingin belajar profesional – Begitu memasuki dunia kerja, secara prinsipiil, sebenarnya sudah memasuki dunia profesional. Secara factual, IYA, profesionalitas mungkin belum terbentuk, karena memang butuh waktu, tidak bisa instant. Seiring bertambahnya pengetahuan, skill dan pengalaman, rasa percaya diri akan mengikuti. Pengetahuan + skill + pengalaman + rasa percaya diri yang sudah stabil akan melahirkan profesionalitas yang factual. Untuk semua itu butuh waktu, tidak ada shortcut, mau-tidak-mau harus dijalani. Berhenti di tengah jalan hanya akan menunda pertumbuhan.

Kelima, ingin membangun masa depan – Profesionalitas tinggi yang bertumbuh secara alami (yang merupakan kombinasi pengetahuan + skill + pengalaman + rasa percaya diri yang stabil, bukan karbitan) ditambah kemandirian, kedewasaan dan kematangan, adalah ticket masa depan yang real.
Itulah tujuan awal orang, pada umumnya, mengapa memasuki dunia kerja (atau dunia usaha). Mengingat kembali tujuan awal itu dapat menebalkan keinginan anda untuk terus berkarir. Seberat apapun beban kerja dan stress akan mampu anda tanggung.

Jurus#6 (Pamungkas). Tetap Bernafas dan Tersenyum
Seringkali, setidaknya menurut pengalaman saya pribadi, masalah yang nampak begitu rumit (seolah tidak ada pemecahannya) ternyata jawabannya begitu sederhana, yaitu: BERNAFAS.
Ketika saya kehabisan akal, semua jalan rasanya buntu, maju kena mundur kena, ini salah itu juga salah, artinya saya sudah tidak punya pilihan. Satu-satunya hal yang bisa saya lakukan, hanya: BERUSAHA TETAP BERNAFAS, sambil mencoba tetap berpikir positive, dengan cara TERSENYUM.
Iya. Bukan hanya nampak sederhana, mungkin malah cenderung terdengar konyol. Saya tidak ingin berdakwah di JAK, karena sampai saat ini profesi saya masih akuntan—belum jadi pendakwah. Tapi saya ingin share beberapa hal, mengenai manfaat bernafas dan tersenyum.
Bagi saya, yang kebetulan bersosok manusia, bernafas adalah kebutuhan pokok—selama saya masih ingin hidup. Saat di ambang keputusasaan, saya berpikir: tak ada aktivitas lain yang lebih esensial selain BERNAFAS. Selama saya masih bisa bernafas, selama itu juga saya akan baik-baik saja. Sedangkan aktivitas-aktivitas lain—termasuk segala macam tetek-bengek terkait dengan karir dan pekerjaan—hanya detailnya yang dalam kondisi seperti ini biasanya saya pasrahkan sama Sang Pencipta (Tuhan Yang Maha Esa).
Berusaha TETAP BERNAFAS dan SENYUM, saat di ambang keputusasaan, adalah bentuk kepasrahaan sekaligus kepercayaan (baca “iman”) kepada Tuhan Yang Maha Esa
·                     Bernafas + tersenyum = Rasa sukur (meskipun dalam masalah)
·                     Bernafas + tersenyum = Rasa percaya diri (aku belum kalah)
·                Bernafas + tersenyum = Tidak berprasangka buruk kepada Tuhan (percaya bahwa Tuhan tidak akan memberikan cobaan yang tidak mampu ditanggung oleh hambanya.)
Lain daripada itu, senyum menyebarkan positivitas bagi lingkungan dimana kita berada, sehingga bisa merangsang orang disekitar kita untuk tetap berpikir dan perilaku positive—tanpa terganggu oleh negativitas kita. Ini bagus dilakukan di lingkungan kerja.

Itulah 6 jurus melewati tahun pertama berkarir di akuntansi yang salah-satunya (atau semuanya) bisa anda aplikasikan. Jika saat ini anda sedang menjalani tahun pertama berkarir di akuntansi atau segera akan memasuki dunia karir, saya doakan semoga lancar dan sukses. Semoga bermanfaat!! :')


Tidak ada komentar:

Posting Komentar